Senin, 16 Juni 2014

Tunawisma di Tengah Kota

Mereka yang tersingkirkan di tengah kota, itulah para tunawisma. Hidup di tengah hiruk pikuk Kota, terlonta tak tau arah, bersandar hidup melalui receh atau sampah dan selalu mengharap belas kasih orang lain. Berkaca dari para tunawisma, kita harus lebih bersyukur, karena kita dapat dengan mudahnya mengeluarkan uang untuk berbelanja kebutuhan hidup, pakaian, sepatu, tinggal di dalam rumah yang layak, hampir semua kebutuhan kita tercukupi. Melihat tampang para tunawisma yang kotor, bau, berbaju usang, bahkan tanpa pengalas kaki, mereka seratus delapan puluh derajat berbeda dari kita.
image
http://forum.kompas.com/
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Tunawisma adalah orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Sedangkan menurut (Anon,1980) Tunawisma atau yang biasa disebut gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Dengan berbagai alasan mereka hidup dan melakukan kesehariaannya di ruang publik. Jalanan, pasar, taman kota, kolong jembatan, bahkan jembatan penyeberangan adalah tempat-tempat yang biasa digunakan oleh mereka untuk  bernaung.
Munculnya tunawisma merupakan fenomena sosial di dalam struktur masyarakat. Fenomena sosial yang dimaksud adalah akibat dari kalah bersaing dalam menempuh kehidupan. Salah satu penyebab utama munculnya fenomena sosial ini dikarenakan oleh faktor kemiskinan. Kemiskinan yang dimaksud bukan hanya miskin secara materi, tetapi juga miskin secara sosial, kultural, dan mental. Seperti yang dipaparkan oleh Sumodiningrat (1999 : 45) Masalah kemiskinan pada dasarnya bukan saja berurusan dengan persoalan ekonomi semata, tetapi bersifat multidimensional yang dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalan-persoalan non-ekonomi (sosial, budaya, dan politik). Karena sifat multidimensionalnya tersebut, maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan materi (material well-being), tetapi berurusan dengan kesejahteraan sosial (social well-being). Karena merasa kalah dengan masyarakat, mereka seakan tersingkirkan dan memilih untuk tinggal di tempat yang “lain”. Menurut Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.
Fenomena sosial tersebut kemudian menjalar pada sifat malas seseorang yang tidak ingin berusaha untuk memperbaiki hidupnya dan lebih memilih pasrah tanpa melakukan tindakan apapun.  Philip G. Zimbardo, Scott, Foresman (1979) dalam bukunya Psychology and Life, menyebutkan bahwa kemalasan terbentuk karena faktor keadaan atau state. Alkostar (1984) dalam penelitiannya tentang kehidupan para tunawisma, ia melihat bahwa penyebab munculnya tunawisma adalah karena faktor internal dalam diri mereka. Faktor internal tersebut meliputi sifat-sifat malas dan  tidak mau bekerja, sehingga mereka lebih cenderung untuk mencari nafkah melalui belas kasih orang lain dengan  cara mengemis atau memulung. Ketika mereka terbiasa hidup dengan cara mengemis, mereka menjadikan pekerjaan “meminta” tersebut menjadi suatu kebiasaan dan pekerjaan sehari-hari. Seperti yang dijelaskan dalam teori Behaviorisme oleh John Broades Watson, segala perilaku manusia sebagian besar dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Lingkungan akan membentuk kepribadian manusia. Tunawisma dipandang dari segi budaya sosial, lahir dari keadaan sosial dan geografis di lingkungannya. Seseorang yang terlahir dari orangtua tunawisma, ia kemungkinan besar juga akan menjadi tunawisma. Hal tersebut terjadi karena kurangnya ilmu atau pendidikan orang tuanya, sehingga title tunawisma yang sudah biasa disandang akan menurun ke anak mereka. Akibatnya, mereka hidup berkeluarga tanpa tempat tinggal dan akhirnya juga ikut bermata pencaharian menjadi seorang pengemis. Mereka-mereka yang lahir dan muncul dari keadaan sosial seperti inilah yang berpotensi menularkan dan menyebarkan budaya sosial mengemis. Tidak ada keterampilan lain yang dimiliki kecuali hanya mengemis.
Mengulik kesehariannya, ruang publik seperti pasar, jalanan, jembatan penyeberangan adalah tempat tinggal baginya. Terkadang mereka berpindah, terkadang mereka menetap. Tak jarang pula mereka menjadi sasaran petugas penertiban, hingga mereka harus lari pontang-panting mencari tempat yang aman. Sehari-harinya mereka berjalan dari suatu tempat ke tempat lain sambil mengadahkan tangan, berharap mendapat rezeki dari orang lain. Tidur dan makan di sembarang tempat dan terlonta mencari sesuap nasi. Dikatakan nyaman, tentu saja tidak. Nasib yang memaksa mereka tinggal di tempat yang tidak layak. Mereka hidup membaur di tengah kota, namun terasa tersingkirkan. Banyak orang menganggap mereka adalah sampah kota.
Berbicara tentang tempat tinggalnya di ruang publik. Ruang publik atau urban space menurut Spreiregen (1965), merupakan pusat kegiatan formal suatu kota, dimana ia terbentuk melalui fasad bangunan di suatu kota yang berfungsi sebagai enclosure atau lantai kota. Urban space tidak luput dari kegiatan atau aktifitas masyarakat kota, karena pada dasarnya ketika merancang sebuah ruang publik terdapat activity support dimana ruang publik akan menghadirkan aktifitas masyarakatnya (Shirvani, 1985) dan tunawisma merupakan bagian dari masyarakat yang turut serta beraktifitas di tengah kota. Namun, menurut para tunawisma, ruang publik merupakan rumah bagi mereka. Rumah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bangunan untuk tempat tinggal. Benar apa kata mereka ketika mereka menyebutkan ruang publik adalah rumah bagi mereka, karena mereka tinggal di sebuah bangunan. Permasalahannya, bangunan yang mereka tinggali adalah bangunan milik umum bukan milik mereka sendiri, sehingga kehadiran mereka di urban space malah menjadi pemandangan pelik yang terkadang menjadi ancaman untuk orang lain.
Urban space menurut kita adalah suatu space. Suatu void yang memiliki keterkaitan secara fisik seperti yang diungkapkan oleh Trancik dalam Place Theory (1986).  Namun menurut para tunawisma, space tersebut sudah menjadi suatu place untuk mereka. Trancik (1986) menjelaskan sebuah space menjadi sebuah place ketika ia mempunyai arti dari lingkungan. Schulz (1979) menambahkan bahwa sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Sedangkan Menurut Zahnd (1999) place terbentuk jika space  memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti. Para tunawisma sudah merasa ruang publik adalah bagian dari hidupnya, karena dari situlah mereka melakukan kehidupan sehari-hari, mereka mencari nafkah, mereka tidur, makan dan lain sebagainya. Mereka telah memberikan makna dari pengalaman hidupnya pada sebuah space sehingga suatu ruang yang tadinya beridentitas space berubah menjadi place bagi mereka. Hal ini yang harus segera diberantas, anggapan bahwa ruang publik adalah rumah bagi mereka, karena kehadiran mereka yang lontang-lantung di tengah kota menimbulkan suatu ancaman kepada masyarakat, merusak pemandangan kota, dan menciptakan kesan kumuh.
Fenomena tunawisma ini semakin berkembang, terlebih di era krisis ekonomi. Mereka akan mudah menularkan gaya hidupnya. Thomas Robert Malthus yang memiliki teori Sumber Daya Versus Populasi, menyebutkan bahwa seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, sumber daya yang dibutuhkan akan semakin tinggi. Jika populasi tidak terkendali tanpa peningkatan sumber daya maka akan timbul masalah besar yang tidak hanya mempengaruhi ekonomi, melainkan juga sosial budaya. Akibatnya jika angka kemiskinan meningkat maka jumlah tunawisma juga akan terus meningkat dan semakin berkembang.

Daftar Pustaka
Spreiregen, Paul D. 1965. Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: Mc Graw Hill Book Co.
Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu : Teori Perancangan Kota Dan Penerapannya. Yogyakarta: Kanisius.
Sedana, Gede. Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis. Denpasar: Fakultas Pertanian Univ Dwijendra Denpasar.
Teori-teori Perkembangan Kota. http://pengembanganperkotaan.wordpress.com/
Kebiasaan yang Dilakukan sesuai Teori Stimulus Respon. http://psikolinguistik10a.wordpress.com
Teori Kemiskinan. http://tesisdisertasi.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar